Rabu, 09 Mei 2012

HUT ke-50 dan Reuni Akbar SMA Negeri 1 Bekasi

Setelah sekian lama blog ini "mati suri", sudah saatnya blog ini kembali diberikan sedikit kehidupan. Diberikan sedikit kenangan akan masa-masa indah waktu kita masih berseragam putih abu-abu.

Saat saya lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2000 (yang artinya adalah 12 tahun yang lalu), saya membuat banyak foto dalam memori saya tentang sekolah ini. Oh ya, saya masih mengingat kondisi laboratorium IPA yang pernah "diledakan" oleh saya dan teman-teman saya dari 3 IPA 1 waktu praktikum Kimia. Saya juga masih mengingat kondisi toilet di antara kelas 2-3 dan 2-4 yang kalau sudah musim penghujan, "wangi tak sedapnya" kemana-mana!

Tetapi lihat lah bagaimana kondisi SMA Negeri 1 Bekasi saat ini. Semakin elok! Foto-foto di bawah ini saya ambil pada tanggal 10 Maret 2012.


http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Lapangan Upacara SMA Negeri 1 Bekasi Sekarang
http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Dahulu Bangunan Ini Hanya 1 Lantai, Sekarang Sudah 2 Lantai


http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Wall Climbing Ini Pun Masih Berdiri Tegak di Tempatnya Yang Sama


http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Ibu Guru Cantik Ini Pun Masih Mengajar di SMA Negeri 1 Bekasi
 
http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Siapa Yang Tidak Kenal Maskot SMA Negeri 1 Bekasi: Lonceng Sekolah!


Bukan saya saja yang takjub dan kagum dengan banyaknya perubahan yang terjadi di SMA Negeri 1 Bekasi. Alumni dari angkatan sebelum saya pun begitu. Tetapi di antara begitu banyaknya perubahan yang terjadi, masih ada beberapa hal yang masih tetap dipertahankan. Salah satunya adalah lonceng sekolah.

Saya ingat bahwa bunyi lonceng sekolah ini bikin benci tapi rindu. Bahkan waktu perpisahan kelas 3, beberapa teman saya berencana untuk menurunkan lonceng sekolah ini dan menyembunyikannya di suatu tempat. Tetapi sayang, rencana tinggallah rencana. Karena kami bukan penjahat dan tidak ada yang berhasil menemukan cara untuk membuka ikatan besi pada lonceng itu!


Untuk mengenang masa-masa terindah dalam hidup itu, SMA Negeri 1 Bekasi akan mengadakan acara untuk berilahturahmi, bernostalgia, berbagi, dan bermakna untuk semua alumni mulai dari angkatan 1965 sampai angkatan 2012.


Jadi untuk Kakak-Kakak, Om-Om, Tante-Tante, dan Adik-Adik yang lulusan SMA Negeri 1 Bekasi, monggo silahkan datang. Bisa langsung ke Sekretariat Panitia di sekolah ataupun lewat https://www.facebook.com/groups/redaksi.ikasmatu/ :)

http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Poster HUT Ke-50 dan Reuni Akbar SMA Negeri 1 Bekasi
http://delia-shuningtyas.blogspot.com
Poster Fun Bike dalam rangka




Ditunggu kehadirannya di hari Minggu, 10 Juni 2012.
 

Selasa, 16 September 2008

Sahur on the Road Penuh Kesan (Cerita Perjalanan)

Rumah, pukul 21.30


Aku tengah mengenakan jilbabku ketika HP di atas meja kecilku berbunyi. Ada sebuah sms masuk. “Mbak, jadi jalan nggak?” Kujawab dengan singkat, ”Jadi”. Kulanjutkan aktivitasku, tapi baru saja kuselesai mengaitkan ujung besi variasi di bagian belakang jilbabku HP di atas meja kecilku lagi-lagi berbunyi. ”Mbak, aku juga nggak?” Dan lagi-lagi kujawab dengan singkat, ”Jadi...jadi” sambil tertawa geli. Segera kuraih tas kecilku dan berjalan ke bawah. Kubuka sebuah pintu yang menuju kamar yang paling ujung. Tampak tiga orang perempuan di dalamnya. Satu wanita hamil yang tengah tertidur lelap dan dua lainnya yang menatapku dengan pandangan tahu-sama-tahu.

”Yah, kayaknya teknologi jaman sekarang emang canggih banget. Satu atap, tapi tetep....Komunikasi jalan tanpa tatap muka,” kataku nyengir. Dua gadis di depanku jadi agak salah tingkah. ”Yah, maklum. Kita nggak sabaran nunggu Mbak turun. Takutnya nggak jadi. Makanya nanya”, jelas gadis yang duluan sms. ”Iya, aku juga penasaran. Jadinya, aku tambahin nanya hal yang sama. Biar pasti gitu,” kata gadis yang kedua dengan bersemangat. Dan ya. Aku pun bersemangat. Karena hari ini untuk pertama kalinya aku dan dua perawat yang tinggal di rumahku, Umi dan Ita, akan mengikuti acara Sahur on the Road prakarsa salah seorang teman SMA-ku yang sekarang sohiban denganku, Denny. Sejak pagi kami sudah menyiapkan selusin baju, kue, dan tas yang mungkin bisa disumbangkan selama perjalanan menuju sahur. Adik Denny, Yogi, sudah mengambilnya sore tadi. Dan sekarang saatnya bergabung. Cuma tinggal menunggu satu orang lagi yaitu Andi, mahasiswaku, yang katanya mau mengantar moci. Semula kami berharap bisa berangkat bersama satu teman SMA-ku yang lain yang katanya mau jalan juga, tapi sayang tak ada jawaban apapun darinya selama dua hari aku menghubunginya. Dua mahasiswiku yang dekat rumah, Mega dan Kartini, pun tidak bisa ikut karena Mega sakit sedangkan Kartini baru menghabiskan seharian dengan acara Ramadannya di asrama haji. Aku sendiri mestinya siang tadi berangkat ke Rawamangun untuk ikut buka puasa bersama komunitas puisi yang kuikuti, tapi setelah seminggu sakit rasanya tak sanggup menghadiri dua acara sekaligus berturutan.

Maka, karena mahasiswaku Andi kebetulan baru balik dari Sumedang dan berjanji mengantar moci ke rumah, aku pun mengajaknya. Selain lebih aman membawa laki-laki dalam perjalanan, Andi termasuk anak jalanan yang tahu kehidupan orang-orang yang malam nanti niatnya kami bantu. Mungkin lain kali akan aku ceritakan kisah Andi dan kakaknya yang luar biasa dalam memperjuangkan hidup mereka dan anak-anak yang biasa kita temui di pinggir jalan atau di angkutan umum sambil membawa gitar atau kerecekan di tangan.

Andi datang sekitar pukul 21.40 dan kami pun langsung melesat menuju kediaman Denny di Wisma Jaya. Atau persisnya ke depan Rumah Sakit Sentosa. Selagi kami duduk menunggu jemputan di depan warteg yang berseberangan dengan rumah sakit, datanglah Deni bersama Yogi. Kami membuntuti motor mereka dengan susah payah karena mereka sepertinya lupa kalau mereka antara lain dibuntuti cewek yang sebisa mungkin menghindari kecepatan lebih dari 50 km/jam. Syukurlah kami sampai dengan selamat di depan rumahnya. Tampak belasan anak muda, laki-laki dan perempuan, sudah sabar menunggu di sana. Ada yang duduk di atas motor, jongkok di pinggir jalan, atau duduk di bangku. Dua anak dengan sigap segera mengangkut sebuah kursi taman dari rumah Denny dan menempatkannya di belakang tempat kami berdiri. Kami pun disuguhi es campur yang masih dingin. Wah, rasanya benar-benar diperlakukan istimewa.

Lambat laun kulihat semakin banyak anak yang datang. Kuhitung-hitung ada sekitar 40 anak lebih yang terkumpul. Aku berdecak kagum. Ternyata, Denny dan kawan-kawan hebat juga. Dia selalu bilang kelompoknya yang ia namakan T-Cam termasuk anak-anak radikal, nyatanya mereka punya kepedulian yang tinggi terhadap sesama mereka. Selagi orang-orang lain terlelap dalam tidur mereka, kecuali yang tengah tadarus di mesjid atau kediaman masing-masing, mereka menyiapkan segala keperluan untuk menjalankan Sahur on the Road buat memberikan sedikit berbagi keindahan ramadan bersama kaum dhuafa.

Tak lama kemudian, Denny dan temannya, Supri, mengomandani anak-anak untuk bersiap pergi. Masing-masing memegang sebungkus nasi untuk dibagikan, sementara mobil terdepan mempersiapkan bungkusan kue, baju, dan minuman. Perjalanan dimulai dari Bulak Kapal sampai Cipinang, lalu balik ke Bekasi. Dalam rombongan, hanya aku dan Umi yang semotor sama-sama cewek. Akibatnya, kami sering menjadi buntut rombongan. Semula kami tidak menyadari itu. Karena kami sudah merasa cukup ngebut. Apalagi, kami berpatokan pada mobil di depan kami. Nyatanya, semua pengendara motor yang lain sudah jauh di depan hingga cowok-cowok yang bertugas sebagai barikade pengaman sering memberi aba-aba untuk mempercepat laju kendaraan kami.

Dingin terasa menerpa wajah dan tanganku. Aku serasa akan membeku. Tapi, rasa dingin ini kontan pudar ketika kulihat para gelandangan yang tidur di antara semak, di halte bis, dan pelataran pertokoan. Sebagian terbangun dengan rasa kaget dan masih dalam kondisi linglung ketika mendapati bungkusan makanan dan minuman di sisi mereka. Sebagian lagi cepat-cepat bangkit dan berlari menuju mobil dan deretan motor kami untuk mendapatkan makanan dan minuman sambil mengucap terima kasih berkali-kali – walau banyak juga yang berlalu begitu saja setelah mendapatkan jatah mereka. Kejadian yang paling membuatku kaget adalah ketika seorang lelaki tua nekad menyeberang jalan tanpa lihat kiri-kanan hingga nyaris tertabrak mobil gara-gara tak mau ketinggalan dalam menerima ransum buat dirinya dan istrinya yang duduk di trotoar beralaskan kardus tua. Kami sedapat mungkin meneriakinya, ”Pak, sudah di seberang saja. Biar kami yang antarkan.” Tapi, dia sudah tak lagi mengandalkan akal sehat dan untungnya masih diselamatkan oleh Allah SWT.

Dalam lanjutan perjalanan, menjelang perempatan GOR, segerombolan anak jalanan pelan berdiri dan menghampiri rombongan kami. Dari kejauhan, kulihat Andi bercakap-cakap akrab dengan sejumlah anak ini. Dia kelihatannya mengenal mereka. Tapi yah, tentu saja. Mereka beberapa anak binaan dirinya dan kakaknya, seperti yang diungkapkan Ita yang diboncengnya kepadaku kemudian.

Satu hal yang pasti, aku dan Umi tanpa sadar sama-sama memanjatkan rasa syukur pada waktu bersamaan karena Allah telah melimpahi kami dengan keberkahan berupa rumah yang nyaman, makanan yang berlimpah, kasih sayang berkecukupan, dan hidayah iman dan Islam. Tidak seperti mereka, kami tak perlu bergumul dengan rasa jijik orang lain, baju kotor, panas terik, dingin mematikan, atau rasa lapar setiap harinya. Kami bisa bergelung di atas kasur yang empuk, bersantai di saat kami menginginkannya, dan bekerja di saat kami memerlukannya. Kami bisa bersilaturahmi dan bercengkrama bersama teman dan keluarga. Maka, nikmat Allah manakah yang dapat kami abaikan malam itu, sementara kesengsaraan dan kemiskinan tampak nyata di pelupuk mata?

Pada perhentian selanjutnya, kami parkir tepat di samping seorang nenek yang baru saja menerima sebungkus nasi. Ia cepat-cepat menyembunyikan nasinya itu dan berpura-pura seolah belum menerima apa-apa. Kami merasa lucu sekaligus prihatin. Apalagi, ketika orang-orang mulai berebut mengambil baju dan makanan dari mobil. Meskipun diteriaki untuk tertib dan memberikan kesempatan kepada teman-teman mereka yang belum memperoleh jatah, tak ada yang mau mengalah. Maka, tampaklah seorang laki-laki yang mendapat daster kebesaran, anak kecil yang berlari bermil-mil untuk memperoleh tambahan perbekalan, atau ibu-ibu berbadan gemuk yang dengan ngos-ngosan menyeka keringat dan nyaris kehabisan napas saking berusaha menyerobot maju di antara kerumunan.

Semua kejadian ini menumbuhkan keharuan dan kesadaran dalam diriku betapa sumbangsih kita yang terkecil pun bisa begitu berarti bagi orang lain. Hingga, ketika perbekalan habis dan tak ada yang tersisa, mereka yang tak kebagian tampak berdesah penuh kecewa dan menunduk dengan lesu. Beberapa bahkan masih bertanya penuh harap, ”Benar udah habis, Mas?” yang dijawab dengan kepastian ”Ya”.

Apa boleh buat. Kebaikan dalam semalam tak mungkin bisa mengubah kehidupan semua yang membutuhkan. Tapi, bayangkan bagaimana jika semua Muslim dan Muslimah melakukan hal yang sama. Membantu sesama dalam setiap kesempatan. Pasti kesejahteraan merata perlahan-lahan bisa kita raih dalam negeri tercinta. Tentu saja perlu ada koordinasi yang baik untuk mengamankan situasi. Karena seperti yang bisa dilihat dari peristiwa zakat mal maut di Pasuruan yang menewaskan 21 orang dan diperkirakan akan bertambah jumlah korbannya, tanpa koordinasi yang baik, kebaikan dapat berujung tragedi. Itu sebabnya, aku merasa salut kepada teman-teman T-Cam yang berhasil menguasai keadaan tanpa kericuhan. Tapi, mungkin akan lebih baik jika orang-orang yang menggelandang ini diberikan keterampilan atau kegiatan bermanfaat sehingga mereka dapat merasakan hidup yang lebih cerah dalam jangka waktu yang panjang berdasarkan tenaga dan pemikiran mereka sendiri. Toh pengalaman telah mengajarkan bahwa bahkan BLT atau pemberian sembako gratis dari pemerintah yang notabene diamankan petugas kepolisian sebagian besar berakhir ribut dan diwarnai kekerasan.

Menjelang pukul tiga pagi rombongan kami sampai di salah satu panti asuhan di Bekasi untuk sahur bersama. Kuperhatikan kondisi panti asuhan itu. Sebuah lukisan bergambar kaligrafi tampak menggantung miring seolah siap jatuh ke tanah. Dindingnya berwarna kelabu, termakan oleh waktu. Sementara tangga kayu tampak lapuk hingga memberi kesan kumuh dalam rumah yang sebetulnya cukup besar itu.

Seorang anak laki-laki dengan setengah mengantuk berjalan menuruni tangga dan malu-malu melewati teman-teman T-Cam yang sudah terlanjur memadati seluruh lantai bawah. Pemimpin panti dengan hangat menyambut kami disusul penjelasan perwakilan T-Cam tentang alasan kedatangan kami. Tapi, selama ramah-tamah ini aku sendiri malah tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku berangan-angan bagaimana seandainya panti bagi anak-anak yatim-piatu itu dipugar dan diperindah agar nyaman. Selama ini aku bercita-cita membuka tempat serupa karena aku sangat suka dengan anak-anak. Hanya saja, memang sulit untuk mewujudkannya. Penghasilanku yang naik-turun, bisnis keluarga yang baru berjalan, fakta bahwa tak mungkin mendirikan sebuah panti asuhan sendirian, membuatku mafhum bahwa pengurus panti tentu telah berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan rumah yang menaungi belasan anak yang tinggal di sana. Bagaimanapun, kupikir kalau saja mereka lebih memperhatikan faktor-faktor kecil seperti lukisan di ruang tamu yang begitu terlihat, tapi dibiarkan miring begitu saja, tentu anak-anak akan lebih senang dan bergembira. Hatiku rasanya seperti tersayat ketika melihat beberapa anak bermata sembab dan wajah manis mereka. Bisa kubayangkan betapa anak-anak seusia mereka membutuhkan kasih sayang orangtua, namun sedari kecil tak lagi merasakannya. Aku mencium lembut pipi anak yang terkecil dan berdoa dalam hati untuk kebahagiaan mereka.

Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Dan hoho. Sejak yang terakhir kali kami mengemudi paling belakang, kami kini selalu menjadi yang paling depan. Yap. Kami bahkan menjadi penunjuk arah menjelang detik-detik terakhir sebelum kami berpisah di tengah jalan. Aku, Umi, Ita, dan Andi akhirnya berpamitan dari rombongan T-Cam dengan janji jika umur kami panjang dan Allah mengijinkan kami akan ikut berpartisipasi kembali tahun depan.

Dan begitulah. Meskipun badan terasa pegal-pegal, kantuk luar biasa membuat mata nyaris tak dapat membuka lagi, kami merasakan pencerahan. Semoga saja, melalui sahur on the road ini Allah meluaskan rejeki dan kehangatan yang terpatri dalam hati hamba-hambanya yang kecil ini. Terima kasih, khususnya, kami haturkan kepada Denny dan kawan-kawan untuk hadiah silaturahmi, persaudaraan, dan pengalaman yang sangat berkesan.

(Nadiah Abidin, 16 September 2008, pukul 2:40 a.m., sambil menunggu waktu sahur tiba).

Siapakah Herlan? (Kenangan dari masa lalu)

Sore ini aku dan Ita sibuk membongkar-bongkar belasan kardus yang menumpuk di ruang perpustakaan. Isinya bermacam-macam. Mulai dari kalender, buku, pin sampai surat-surat. Ketika aku membuka sejumlah buku lama yang sudah mulai berdebu, tiba-tiba sebuah amplop melayang jatuh.

Aku memungutnya dan mengamati sampulnya. Sampul berwarna pink itu menunjukkan dua anak kecil yang duduk saling berhadapan. Ada tulisan "sunboy" dibalik amplop dan sebuah nama: Herlan S.

Tiba-tiba aku jadi teringat masa SMA dulu. Ketika itu, atas ajakan dari Bang Komar dan kakak-kakak angkatan 96, aku dan beberapa anak angkatan 98 ikut berpartisipasi dalam mensukseskan pesantren kilat yang bertempat di salah satu SD di BJI. Aku dan teman-teman bertindak sebagai tutor. Aku kebagian mengajarkan nasyid dan mendongeng kepada anak-anak. Mereka tampak senang sekali. Saking senangnya, waktu aku pindah ke kelas sebelah, beberapa anak nekad membuka pembatas kelas dan berteriak nyaring, "Kak Nadiah, kapan balik ke kelas kita? Jangan lama-lama yah! Ditunggu!"

Pengalaman itu sangat luar biasa. Rasanya benar-benar luar biasa mendapat perhatian dan penghargaan dari adik-adikku yang cantik dan ganteng. Sambil bertepuk tangan, aku melantunkan sejumlah nasyid dengan dibantu temanku, Rissa. Menjelang akhir sesi di hari ketiga, tiba-tiba salah seorang di antara peserta pesantren kilat mendekatiku. Lia namanya. Dari pandanganku, dia gadis tercantik di kelas yang aku ajar. Seraya menarik sekilas ujung kemejaku, dia mengangsurkan sebuah amplop berwarna pink. "Ada apa, Sayang? Kamu sakit?" Anak itu menggeleng dan berkata singkat, "Ini buat Kakak". Aku tersenyum padanya sambil mengucap terima kasih dan memintanya kembali berdiri dalam barisan teman-temannya yang masih mempelajari nasyid yang kuajarkan.

Dari warna sampulnya, aku mendadak merasa deg-degan. Tanganku sampai gemetar. Apa ya isinya? Bersama Rissa, kami membaca surat di dalamnya lamat-lamat. Bertanggal 20 Juni 1996, pengirim surat menyampaikan permohonan maaf karena telah lancang mengirim surat. Ia bercerita bagaimana ia mengantar Lia ke sekolah dan melihatku dari kejauhan. Dia bertanya kepada adiknya, siapa aku. Dan adiknya dengan bersemangat bercerita bahwa aku kakak paling ramah dan tercantik di sana. Karena itu, ia terkesan dan ingin berkenalan.

Surat yang kubaca nyaris jatuh dari genggaman. Rissa tertawa geli dan berkata, "Wah, Na. Ternyata ada penggemar nih yah. Senang dong". Aku berkata padanya aku tak tahu harus berpikir apa. Yang pasti menurutku surat itu bukan diperuntukkan padaku. "Lia pasti salah kasih orang. Mana mungkin surat ini buat gue, Cha".

Maka, karena aku sudah tak sanggup menulis, Rissa yang melakukannya. Kami menjawab surat itu dengan mengatakan bahwa adiknya sudah pasti salah memberikan surat kepadaku. Jadi, bukannya tak ingin menyambung silaturahmi, tapi sebaiknya ia menitipkan surat untuk orang yang tepat.

Aku memberikan balasan surat itu kepada Lia. Ia mengangguk dengan wajah polosnya yang manis.

Keesokan harinya, aku mendapatkan surat kedua. Meski aku mengatakan kepada Lia bahwa dia mungkin salah memberikan surat, ia bersikeras bahwa surat itu untukku.

Saat kubaca, kakaknya bernama Herlan ini menawarkan untuk bertemu di gerbang sekolah. Dan jika bisa, mengobrol di hari perpisahan.

Aku jelas langsung kalang kabut. Berurusan dengan cowok sedari dulu sudah menjadi masalah klise. Meskipun teman-teman cowok bilang aku asyik, begitu ada yang tampaknya pedekata, biasanya aku jadi malu sendiri dan menghindar. Dan ini, orang asing yang belum ketahuan seperti apa rupanya bilang kalau dia suka padaku dari pandangan pertama dan mengajak berkenalan. Mimpi apa semalam?Rissa dengan gembira mengomporiku untuk memenuhi ajakannya. Tapi, aku menggeleng kuat-kuat. Aku takkan sanggup melakukannya. Rasa malu pasti akan membuatku tak mampu mengatakan apa-apa. Seperti yang selalu terjadi begitu ada cowok yang menunjukkan tanda-tanda suka.

Tapi, Rissa bersikeras. Katanya, "Kita intai saja dari sisi gerbang depan sebelah sana" - Dia menunjuk salah satu sisi yang agak tertutup dari pandangan. "Dengan begitu, kita bisa lihat orangnya, tapi dia nggak bisa lihat kita. Jam berapa katanya datang? Jam 3? Nah, kita standby dari jam 2.40. Gimana?"

Aku tak setuju. Bagaimana kalau ketahuan? Tengsin kan? Tapi karena penasaran, akhirnya kami pun berdiri di sisi yang terlindung rerimbunan pohon itu. Sekitar jam 3, terdengar sebuah motor mendekat. Aku hanya sempat melihat kakinya. Kaki? Yap, hanya kakinya yang putih bersih. Astagfirullah aladzim. Aku mengelus-elus dadaku sendiri. Aku sedang ngapain sih? Tanpa berani melihat wajahnya, aku menarik Rissa untuk memasuki gerbang dari sisi lain yang takkan kelihatan oleh orang yang baru datang.

Jujur, aku sama sekali tidak tahu apakah itu cowok bernama Herlan itu. Aku pun tak sempat berkenalan karena saking gugupnya aku memutuskan pamit lebih dulu meski Rissa protes dan membujukku untuk tinggal lebih lama dan melihat pengagum misterius itu. Dan begitulah. Dengan pengecut, aku menutup satu lembaran dalam hidupku begitu saja.

Sekarang sudah lewat 12 tahun. Dan tiba-tiba surat lama itu ada lagi dalam tanganku. Bukan hanya surat pertama, tapi juga surat kedua yang sama-sama diketik rapi pakai mesin tik.

Aku berpikir bagaimana seandainya aku memberanikan diri berkenalan. Bagaimana jika kami bertutur kata. Sama seperti ketika ada begitu banyak anak laki-laki silih berganti datang dan mengajak untuk berkenalan lebih jauh. Aku selalu mengatakan tidak dan tidak. Aku begitu pemalu hingga tak pernah memberikan kesempatan kepada siapapun. Alasan pertama tentu karena aku tahu dalam Islam tak ada istilah pacaran. Tapi, alasan kedua, aku selalu takut konsekuensi perkenalan yang lebih dekat.

Ah, entahlah.

Kulipat kembali surat-surat itu, lalu menaruhnya di sebuah kotak khusus.

Kepada semua yang kukecewakan dulu, mohon maaf yah. Kadang hati tak sanggup menghadapi tantangan. Kepada Herlan Saputra yang telah mengirimiku surat dulu, terima kasih banyak. Mudah-mudahan kita suatu saat bisa bersilaturahmi. Begitu pula dengan teman-teman lain yang tak pernah aku berikan kesempatan untuk menjadi sahabat dekat.

(Nadiah Abidin, 15 September 2008, 19.00 WIB)

Minggu, 10 Agustus 2008

Kadang Lebih Baik (renungan)

KADANG LEBIH BAIK

Seberapapun kita berusaha
sekuat apapun kita bertahan
kadang lebih baik menyerah
dan melanjutkan

Melanjutkan senyum yang tertunda
Melanjutkan hidup yang penuh cerita

Daripada stagnan
menanti sesuatu yang tak pasti
yang menunjukkan tanda ada
namun tiada...

Kadang lebih baik
berhenti mendengarkan dalih-dalih
tentang berjuta alasan kenapa
tidak bisa begitu, tidak bisa begini

Kadang lebih baik
menyimpan memori dalam peti
dan melangkah terus ke depan
meski kaki serasa terganjal
meski masih ada harap tersisa

Kadang lebih baik
melepas satu impian
untuk menemukan impian yang lain

Kadang lebih baik
sendiri
daripada berdua tapi makan hati

Kadang lebih baik
merenung di hadapan Ilahi
daripada berfoya melepas derita

Kadang lebih baik
menutup lembaran
daripada membiarkannya terbuka
penuh noda dan letih

(Nadiah Abidin, 10 Agustus, 5: 24 pm)

Jumat, 08 Agustus 2008

Terdampar di Dumai



Hmmm….ga berasa dah hampir 2 bulan aqu tinggal dan kerja di Dumai – Riau, daerah yang dari kecil akrab terdengar d telinga tetapi baru kali ini aku datang ke Dumai. Daerah pelabuhan yang katanya banyak minyak…dan ternyata emang iya…sampai-sampai air bersih untuk keperluan MCK aja susah didapat karena air berwarna keruh, terasa payau kayak rasa oralit mungkin karena air tanah bercampur dengan resapan air laut.

Pelan tapi pasti…step by step….aq mulai bisa beradaptasi dengan daerah Dumai yang puanaaaaaaasssssssssssssssssss nya minta ampun….buat anak yang terbiasa hidup di Kota Metropolitan Yang ga Pernah Tidur….anak Ibukota ….Anak Jakarta…tempat ini benar2 tempat yang ga banget !!!!

Bayangin aja…..ga ada mall….ga ada boskop…sepii…..jarang angkot….yang ada cuma Ramayan doank……..yg parahnya lagi ga ada cowok cakep...hehehehe...

kalau mau ke Mall atau bioskop musti ke Pekanbaru atau Batam.Huuuuuu………capek dech……..ke Pekanbaru harus naik mobil selama 5 jam trus kalo mau ke Batam aku harus naik kapal Ferry selama 7 jam………haaaaaaaaaaa……..????????????????

Coba kalo di Jakarta atau di pinggiran Jakarta dech (Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor) dengan 5 jam dah bisa bolak balik Jakarta Bandung disini……….?????

Di Dumai jalan protokol ( katanya) Jl. Sudirmannya aja sepi ( liat photonya dech) ...pagi sang sore malam sama sepinya....

Di Dumai, air bersih musti beli Rp. 2.000,- per galon alias beli duarebu perak tiap galon yg isi 5 liter….ditambah lagi dirku yang belum kenal sapa-sapa….benar benar terdampar di suatu tempat yang asing………
sejak kerja dan tinggal di Dumai gw benar-benar mengerti arti lirik lagu Dewa“ Di dalam keramaian aku selalu merasa sunyi….sendiri memikirkan kamu…..””

Ya…aku mikirin kamu…….kamu2 yang pernah aku kenal dan aku temui……bahkan kamu2 yang belum aku temui…..para kenalan di dunia maya……..friendster…tagged..hi5…yahoo messenger…:p
Tapi……………..semua ini pasti ada hikmahnya……sabar……aku musti sabar …satu kata dan satu tindakan yang susah banget aku lakuin kalo kerja di Jakarta

Kamis, 07 Agustus 2008

UNIVERSITAS AL MADINAH INTERNASIONAL

Universitas Al-Madinah Internasional (Al-Madinah International University, MEDIU) adalah universitas islam virtual pertama di dunia, yang dicetuskan oleh para ulama di timur tengah. Dengan dilatar belakangi oleh sulitnya kesempatan menuntut ilmu ke kota Nabi, yaitu di Madinah Al-Munawwarah. Sehingga para ulama memiliki gagasan untuk mengantarkan khazanah ilmiah warisan para nabi keseluruh penjuru dunia, agar semakin banyak orang yang dapat mempelajarinya.
Dengan sistem pembelajaran yang menggabungkan antara sistem kelas virtual dan sistem klasikal berupa tatap muka secara langsung dengan pengajar, diharapkan lulusan MEDIU ini akan memiliki kualifikasi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan ummat akan thalibul ilmi yang akan memenuhi dunia ini dengan nuansa kesejukan dari syariat Allah subhanahu wata’ala.
Lulusan MEDIU akan mendapatkan gelar S1 dan ijazah yang diakui oleh pemerintah Malaysia dan terakreditasi oleh MQA.
Fasilitas yang didapatkan:
1. Lab komputer
2. Akses Internet Broadband di Learning Center Yogyakarta.
3. Perpustakaan digital.
4. Share point video kajian para ulama dalam bahasa arab.
5. Modul perkuliahan dalam bentuk Buku dan CD.
6. Laptop (dipinjamkan dan menjadi hak milik setelah menyelesaikan studi dengan prestasi yang memuaskan)
7. Uang saku USD 200/semester
Syarat Pendaftaran:
1. Fotokopi ijazah SMU atau yang sederajat (dilegalisir* )
2. Fotokopi Transkrip nilai (dilegalisir* )
3. Fotokopi KTP (dilegalisir* )
4. Fotokopi Foto berwarna 3x4 (4 lembar)
5. Surat keterangan penghasilan/ slip gaji
6. Biaya pendaftaran Rp400.000,- (diskon 50% bagi yang tidak mampu dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu)
*) Legalisir bisa dilakukan oleh RT/RW setempat atau lembaga/ormas islam.
Formulir dapat diperoleh di:
1. Situs http://www.mediujogja.com/
2. Kantor Learning Center Yogyakarta
LC MEDIU YOGYAKARTA
Jl. Kusumanegara no.222, Umbulharjo
Yogyakarta 55165
Tel. (0274) 376751
Fax. (0274) 375872
HP: 0852 2830 2205
Website: http://www.mediu.edu.my/ dan http://www.mediujogja.com/
Email: mailto:yogyakarta@mediu.

Rabu, 06 Agustus 2008

Kenangan DI SMU

Di Tulis Oleh Vavi Rahmah - 97

Hehe jadi inget. Jaman SMA (eh SMU) dulu, waktu vie kelas 3. Doi jadi asisten wakasek kesiswaan (wakasek kesiswaannya waktu itu pak said guru olahraga). Beliau berdua adalah 2 orang yg Vie selalu berusaha hindarin papasan sama beliau. Mereka siy orang nya baek‚ n ngemong dasar g nya aja yg bandel.. hihii...

Mereka klo ketemu Vie pasti merhatiin Vie dari ujung rambut sampe ujung kaki. Di pelototin gitu. Pasti berusaha nyari yg salah dari pakaian Vie hari itu. Pernah lg jalan, di panggil sama pak Ruslan, trus di tanya “kenapa bajunya gak ada lambang osisnya?“, trus Vie jawab : “pake pak.. niy ada “ jawab vie lugu sambil megangin gambar osis yang berbentuk pin keciillll banget (mungkin ukuran foto 3x4). Vie sematin di kantong baju smu. Kebetulan waktu itu lagi musim pin gambar lambang osis. Hihi… ^ _^.

Trus pernah juga lagi jalan di panggil pak Said, trus ditanya “kenapa kaos kaki kamu gak putih?”. Trus Vie jawab “putih kok pak, niy kan putih…mmm…tapi ada garis –garis ijonya siy dikit”. Jawab Vie lugu sambil cengengesan trus garuk-garuk kepala yg gak gatel.

Hehehe.. trus doi suruh Vie lipet tu kaos kaki gimana caranya warna ijo nya gak keliatan. Ya udah vie lipet deh, trus Vie jalan masuk ke perpus (padahal rencana mo ke kantin). Pas doi dah lewat, tu kaos kaki Vie tarik lagi keatas. Trus dengan lugunya jalan menuju kantin de... Huahahaha kenangan SMU emang gak ada matinya. Piss pak Ruslan dan pak Said, I miss U. Tks udah ngedidik Vie selama di SMU.

Oiya, ada satu lagi kenangan yg Vie ingettt banget, waktu kelas 2-1, Benyamin ultah. Trus Vie lempar telor dikelas. Kena dinding kelas, dikomplain anak kelas 1(siang). Yang lempar telor siy bertiga (Avi, Gagat, sama Kiki Novada).

Walhasil diomelin BP. Pas ditanya guru BP : “siapa aja yg ikut lempar telor?” dengan lugunya Vie angkat tangan. Begitu Vie nengok sekeliling kelas, Gubraakk!! Ternyata Vie Cuma angkat tangan sendirian. Yasud, di suruh keruang bepe deh. Eh ternyata klo diruang bepe guru bepe itu baeekkk banget. Doi nanya2 dengan lembutnya (padahal di kelas galak banget). Hasilnya kita sekelas suruh bikin pernyataan menyesal trus tanda tangan sekelas deh. ….SMU oh SMU….;p