Selasa, 16 September 2008

Sahur on the Road Penuh Kesan (Cerita Perjalanan)

Rumah, pukul 21.30


Aku tengah mengenakan jilbabku ketika HP di atas meja kecilku berbunyi. Ada sebuah sms masuk. “Mbak, jadi jalan nggak?” Kujawab dengan singkat, ”Jadi”. Kulanjutkan aktivitasku, tapi baru saja kuselesai mengaitkan ujung besi variasi di bagian belakang jilbabku HP di atas meja kecilku lagi-lagi berbunyi. ”Mbak, aku juga nggak?” Dan lagi-lagi kujawab dengan singkat, ”Jadi...jadi” sambil tertawa geli. Segera kuraih tas kecilku dan berjalan ke bawah. Kubuka sebuah pintu yang menuju kamar yang paling ujung. Tampak tiga orang perempuan di dalamnya. Satu wanita hamil yang tengah tertidur lelap dan dua lainnya yang menatapku dengan pandangan tahu-sama-tahu.

”Yah, kayaknya teknologi jaman sekarang emang canggih banget. Satu atap, tapi tetep....Komunikasi jalan tanpa tatap muka,” kataku nyengir. Dua gadis di depanku jadi agak salah tingkah. ”Yah, maklum. Kita nggak sabaran nunggu Mbak turun. Takutnya nggak jadi. Makanya nanya”, jelas gadis yang duluan sms. ”Iya, aku juga penasaran. Jadinya, aku tambahin nanya hal yang sama. Biar pasti gitu,” kata gadis yang kedua dengan bersemangat. Dan ya. Aku pun bersemangat. Karena hari ini untuk pertama kalinya aku dan dua perawat yang tinggal di rumahku, Umi dan Ita, akan mengikuti acara Sahur on the Road prakarsa salah seorang teman SMA-ku yang sekarang sohiban denganku, Denny. Sejak pagi kami sudah menyiapkan selusin baju, kue, dan tas yang mungkin bisa disumbangkan selama perjalanan menuju sahur. Adik Denny, Yogi, sudah mengambilnya sore tadi. Dan sekarang saatnya bergabung. Cuma tinggal menunggu satu orang lagi yaitu Andi, mahasiswaku, yang katanya mau mengantar moci. Semula kami berharap bisa berangkat bersama satu teman SMA-ku yang lain yang katanya mau jalan juga, tapi sayang tak ada jawaban apapun darinya selama dua hari aku menghubunginya. Dua mahasiswiku yang dekat rumah, Mega dan Kartini, pun tidak bisa ikut karena Mega sakit sedangkan Kartini baru menghabiskan seharian dengan acara Ramadannya di asrama haji. Aku sendiri mestinya siang tadi berangkat ke Rawamangun untuk ikut buka puasa bersama komunitas puisi yang kuikuti, tapi setelah seminggu sakit rasanya tak sanggup menghadiri dua acara sekaligus berturutan.

Maka, karena mahasiswaku Andi kebetulan baru balik dari Sumedang dan berjanji mengantar moci ke rumah, aku pun mengajaknya. Selain lebih aman membawa laki-laki dalam perjalanan, Andi termasuk anak jalanan yang tahu kehidupan orang-orang yang malam nanti niatnya kami bantu. Mungkin lain kali akan aku ceritakan kisah Andi dan kakaknya yang luar biasa dalam memperjuangkan hidup mereka dan anak-anak yang biasa kita temui di pinggir jalan atau di angkutan umum sambil membawa gitar atau kerecekan di tangan.

Andi datang sekitar pukul 21.40 dan kami pun langsung melesat menuju kediaman Denny di Wisma Jaya. Atau persisnya ke depan Rumah Sakit Sentosa. Selagi kami duduk menunggu jemputan di depan warteg yang berseberangan dengan rumah sakit, datanglah Deni bersama Yogi. Kami membuntuti motor mereka dengan susah payah karena mereka sepertinya lupa kalau mereka antara lain dibuntuti cewek yang sebisa mungkin menghindari kecepatan lebih dari 50 km/jam. Syukurlah kami sampai dengan selamat di depan rumahnya. Tampak belasan anak muda, laki-laki dan perempuan, sudah sabar menunggu di sana. Ada yang duduk di atas motor, jongkok di pinggir jalan, atau duduk di bangku. Dua anak dengan sigap segera mengangkut sebuah kursi taman dari rumah Denny dan menempatkannya di belakang tempat kami berdiri. Kami pun disuguhi es campur yang masih dingin. Wah, rasanya benar-benar diperlakukan istimewa.

Lambat laun kulihat semakin banyak anak yang datang. Kuhitung-hitung ada sekitar 40 anak lebih yang terkumpul. Aku berdecak kagum. Ternyata, Denny dan kawan-kawan hebat juga. Dia selalu bilang kelompoknya yang ia namakan T-Cam termasuk anak-anak radikal, nyatanya mereka punya kepedulian yang tinggi terhadap sesama mereka. Selagi orang-orang lain terlelap dalam tidur mereka, kecuali yang tengah tadarus di mesjid atau kediaman masing-masing, mereka menyiapkan segala keperluan untuk menjalankan Sahur on the Road buat memberikan sedikit berbagi keindahan ramadan bersama kaum dhuafa.

Tak lama kemudian, Denny dan temannya, Supri, mengomandani anak-anak untuk bersiap pergi. Masing-masing memegang sebungkus nasi untuk dibagikan, sementara mobil terdepan mempersiapkan bungkusan kue, baju, dan minuman. Perjalanan dimulai dari Bulak Kapal sampai Cipinang, lalu balik ke Bekasi. Dalam rombongan, hanya aku dan Umi yang semotor sama-sama cewek. Akibatnya, kami sering menjadi buntut rombongan. Semula kami tidak menyadari itu. Karena kami sudah merasa cukup ngebut. Apalagi, kami berpatokan pada mobil di depan kami. Nyatanya, semua pengendara motor yang lain sudah jauh di depan hingga cowok-cowok yang bertugas sebagai barikade pengaman sering memberi aba-aba untuk mempercepat laju kendaraan kami.

Dingin terasa menerpa wajah dan tanganku. Aku serasa akan membeku. Tapi, rasa dingin ini kontan pudar ketika kulihat para gelandangan yang tidur di antara semak, di halte bis, dan pelataran pertokoan. Sebagian terbangun dengan rasa kaget dan masih dalam kondisi linglung ketika mendapati bungkusan makanan dan minuman di sisi mereka. Sebagian lagi cepat-cepat bangkit dan berlari menuju mobil dan deretan motor kami untuk mendapatkan makanan dan minuman sambil mengucap terima kasih berkali-kali – walau banyak juga yang berlalu begitu saja setelah mendapatkan jatah mereka. Kejadian yang paling membuatku kaget adalah ketika seorang lelaki tua nekad menyeberang jalan tanpa lihat kiri-kanan hingga nyaris tertabrak mobil gara-gara tak mau ketinggalan dalam menerima ransum buat dirinya dan istrinya yang duduk di trotoar beralaskan kardus tua. Kami sedapat mungkin meneriakinya, ”Pak, sudah di seberang saja. Biar kami yang antarkan.” Tapi, dia sudah tak lagi mengandalkan akal sehat dan untungnya masih diselamatkan oleh Allah SWT.

Dalam lanjutan perjalanan, menjelang perempatan GOR, segerombolan anak jalanan pelan berdiri dan menghampiri rombongan kami. Dari kejauhan, kulihat Andi bercakap-cakap akrab dengan sejumlah anak ini. Dia kelihatannya mengenal mereka. Tapi yah, tentu saja. Mereka beberapa anak binaan dirinya dan kakaknya, seperti yang diungkapkan Ita yang diboncengnya kepadaku kemudian.

Satu hal yang pasti, aku dan Umi tanpa sadar sama-sama memanjatkan rasa syukur pada waktu bersamaan karena Allah telah melimpahi kami dengan keberkahan berupa rumah yang nyaman, makanan yang berlimpah, kasih sayang berkecukupan, dan hidayah iman dan Islam. Tidak seperti mereka, kami tak perlu bergumul dengan rasa jijik orang lain, baju kotor, panas terik, dingin mematikan, atau rasa lapar setiap harinya. Kami bisa bergelung di atas kasur yang empuk, bersantai di saat kami menginginkannya, dan bekerja di saat kami memerlukannya. Kami bisa bersilaturahmi dan bercengkrama bersama teman dan keluarga. Maka, nikmat Allah manakah yang dapat kami abaikan malam itu, sementara kesengsaraan dan kemiskinan tampak nyata di pelupuk mata?

Pada perhentian selanjutnya, kami parkir tepat di samping seorang nenek yang baru saja menerima sebungkus nasi. Ia cepat-cepat menyembunyikan nasinya itu dan berpura-pura seolah belum menerima apa-apa. Kami merasa lucu sekaligus prihatin. Apalagi, ketika orang-orang mulai berebut mengambil baju dan makanan dari mobil. Meskipun diteriaki untuk tertib dan memberikan kesempatan kepada teman-teman mereka yang belum memperoleh jatah, tak ada yang mau mengalah. Maka, tampaklah seorang laki-laki yang mendapat daster kebesaran, anak kecil yang berlari bermil-mil untuk memperoleh tambahan perbekalan, atau ibu-ibu berbadan gemuk yang dengan ngos-ngosan menyeka keringat dan nyaris kehabisan napas saking berusaha menyerobot maju di antara kerumunan.

Semua kejadian ini menumbuhkan keharuan dan kesadaran dalam diriku betapa sumbangsih kita yang terkecil pun bisa begitu berarti bagi orang lain. Hingga, ketika perbekalan habis dan tak ada yang tersisa, mereka yang tak kebagian tampak berdesah penuh kecewa dan menunduk dengan lesu. Beberapa bahkan masih bertanya penuh harap, ”Benar udah habis, Mas?” yang dijawab dengan kepastian ”Ya”.

Apa boleh buat. Kebaikan dalam semalam tak mungkin bisa mengubah kehidupan semua yang membutuhkan. Tapi, bayangkan bagaimana jika semua Muslim dan Muslimah melakukan hal yang sama. Membantu sesama dalam setiap kesempatan. Pasti kesejahteraan merata perlahan-lahan bisa kita raih dalam negeri tercinta. Tentu saja perlu ada koordinasi yang baik untuk mengamankan situasi. Karena seperti yang bisa dilihat dari peristiwa zakat mal maut di Pasuruan yang menewaskan 21 orang dan diperkirakan akan bertambah jumlah korbannya, tanpa koordinasi yang baik, kebaikan dapat berujung tragedi. Itu sebabnya, aku merasa salut kepada teman-teman T-Cam yang berhasil menguasai keadaan tanpa kericuhan. Tapi, mungkin akan lebih baik jika orang-orang yang menggelandang ini diberikan keterampilan atau kegiatan bermanfaat sehingga mereka dapat merasakan hidup yang lebih cerah dalam jangka waktu yang panjang berdasarkan tenaga dan pemikiran mereka sendiri. Toh pengalaman telah mengajarkan bahwa bahkan BLT atau pemberian sembako gratis dari pemerintah yang notabene diamankan petugas kepolisian sebagian besar berakhir ribut dan diwarnai kekerasan.

Menjelang pukul tiga pagi rombongan kami sampai di salah satu panti asuhan di Bekasi untuk sahur bersama. Kuperhatikan kondisi panti asuhan itu. Sebuah lukisan bergambar kaligrafi tampak menggantung miring seolah siap jatuh ke tanah. Dindingnya berwarna kelabu, termakan oleh waktu. Sementara tangga kayu tampak lapuk hingga memberi kesan kumuh dalam rumah yang sebetulnya cukup besar itu.

Seorang anak laki-laki dengan setengah mengantuk berjalan menuruni tangga dan malu-malu melewati teman-teman T-Cam yang sudah terlanjur memadati seluruh lantai bawah. Pemimpin panti dengan hangat menyambut kami disusul penjelasan perwakilan T-Cam tentang alasan kedatangan kami. Tapi, selama ramah-tamah ini aku sendiri malah tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku berangan-angan bagaimana seandainya panti bagi anak-anak yatim-piatu itu dipugar dan diperindah agar nyaman. Selama ini aku bercita-cita membuka tempat serupa karena aku sangat suka dengan anak-anak. Hanya saja, memang sulit untuk mewujudkannya. Penghasilanku yang naik-turun, bisnis keluarga yang baru berjalan, fakta bahwa tak mungkin mendirikan sebuah panti asuhan sendirian, membuatku mafhum bahwa pengurus panti tentu telah berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan rumah yang menaungi belasan anak yang tinggal di sana. Bagaimanapun, kupikir kalau saja mereka lebih memperhatikan faktor-faktor kecil seperti lukisan di ruang tamu yang begitu terlihat, tapi dibiarkan miring begitu saja, tentu anak-anak akan lebih senang dan bergembira. Hatiku rasanya seperti tersayat ketika melihat beberapa anak bermata sembab dan wajah manis mereka. Bisa kubayangkan betapa anak-anak seusia mereka membutuhkan kasih sayang orangtua, namun sedari kecil tak lagi merasakannya. Aku mencium lembut pipi anak yang terkecil dan berdoa dalam hati untuk kebahagiaan mereka.

Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Dan hoho. Sejak yang terakhir kali kami mengemudi paling belakang, kami kini selalu menjadi yang paling depan. Yap. Kami bahkan menjadi penunjuk arah menjelang detik-detik terakhir sebelum kami berpisah di tengah jalan. Aku, Umi, Ita, dan Andi akhirnya berpamitan dari rombongan T-Cam dengan janji jika umur kami panjang dan Allah mengijinkan kami akan ikut berpartisipasi kembali tahun depan.

Dan begitulah. Meskipun badan terasa pegal-pegal, kantuk luar biasa membuat mata nyaris tak dapat membuka lagi, kami merasakan pencerahan. Semoga saja, melalui sahur on the road ini Allah meluaskan rejeki dan kehangatan yang terpatri dalam hati hamba-hambanya yang kecil ini. Terima kasih, khususnya, kami haturkan kepada Denny dan kawan-kawan untuk hadiah silaturahmi, persaudaraan, dan pengalaman yang sangat berkesan.

(Nadiah Abidin, 16 September 2008, pukul 2:40 a.m., sambil menunggu waktu sahur tiba).

Siapakah Herlan? (Kenangan dari masa lalu)

Sore ini aku dan Ita sibuk membongkar-bongkar belasan kardus yang menumpuk di ruang perpustakaan. Isinya bermacam-macam. Mulai dari kalender, buku, pin sampai surat-surat. Ketika aku membuka sejumlah buku lama yang sudah mulai berdebu, tiba-tiba sebuah amplop melayang jatuh.

Aku memungutnya dan mengamati sampulnya. Sampul berwarna pink itu menunjukkan dua anak kecil yang duduk saling berhadapan. Ada tulisan "sunboy" dibalik amplop dan sebuah nama: Herlan S.

Tiba-tiba aku jadi teringat masa SMA dulu. Ketika itu, atas ajakan dari Bang Komar dan kakak-kakak angkatan 96, aku dan beberapa anak angkatan 98 ikut berpartisipasi dalam mensukseskan pesantren kilat yang bertempat di salah satu SD di BJI. Aku dan teman-teman bertindak sebagai tutor. Aku kebagian mengajarkan nasyid dan mendongeng kepada anak-anak. Mereka tampak senang sekali. Saking senangnya, waktu aku pindah ke kelas sebelah, beberapa anak nekad membuka pembatas kelas dan berteriak nyaring, "Kak Nadiah, kapan balik ke kelas kita? Jangan lama-lama yah! Ditunggu!"

Pengalaman itu sangat luar biasa. Rasanya benar-benar luar biasa mendapat perhatian dan penghargaan dari adik-adikku yang cantik dan ganteng. Sambil bertepuk tangan, aku melantunkan sejumlah nasyid dengan dibantu temanku, Rissa. Menjelang akhir sesi di hari ketiga, tiba-tiba salah seorang di antara peserta pesantren kilat mendekatiku. Lia namanya. Dari pandanganku, dia gadis tercantik di kelas yang aku ajar. Seraya menarik sekilas ujung kemejaku, dia mengangsurkan sebuah amplop berwarna pink. "Ada apa, Sayang? Kamu sakit?" Anak itu menggeleng dan berkata singkat, "Ini buat Kakak". Aku tersenyum padanya sambil mengucap terima kasih dan memintanya kembali berdiri dalam barisan teman-temannya yang masih mempelajari nasyid yang kuajarkan.

Dari warna sampulnya, aku mendadak merasa deg-degan. Tanganku sampai gemetar. Apa ya isinya? Bersama Rissa, kami membaca surat di dalamnya lamat-lamat. Bertanggal 20 Juni 1996, pengirim surat menyampaikan permohonan maaf karena telah lancang mengirim surat. Ia bercerita bagaimana ia mengantar Lia ke sekolah dan melihatku dari kejauhan. Dia bertanya kepada adiknya, siapa aku. Dan adiknya dengan bersemangat bercerita bahwa aku kakak paling ramah dan tercantik di sana. Karena itu, ia terkesan dan ingin berkenalan.

Surat yang kubaca nyaris jatuh dari genggaman. Rissa tertawa geli dan berkata, "Wah, Na. Ternyata ada penggemar nih yah. Senang dong". Aku berkata padanya aku tak tahu harus berpikir apa. Yang pasti menurutku surat itu bukan diperuntukkan padaku. "Lia pasti salah kasih orang. Mana mungkin surat ini buat gue, Cha".

Maka, karena aku sudah tak sanggup menulis, Rissa yang melakukannya. Kami menjawab surat itu dengan mengatakan bahwa adiknya sudah pasti salah memberikan surat kepadaku. Jadi, bukannya tak ingin menyambung silaturahmi, tapi sebaiknya ia menitipkan surat untuk orang yang tepat.

Aku memberikan balasan surat itu kepada Lia. Ia mengangguk dengan wajah polosnya yang manis.

Keesokan harinya, aku mendapatkan surat kedua. Meski aku mengatakan kepada Lia bahwa dia mungkin salah memberikan surat, ia bersikeras bahwa surat itu untukku.

Saat kubaca, kakaknya bernama Herlan ini menawarkan untuk bertemu di gerbang sekolah. Dan jika bisa, mengobrol di hari perpisahan.

Aku jelas langsung kalang kabut. Berurusan dengan cowok sedari dulu sudah menjadi masalah klise. Meskipun teman-teman cowok bilang aku asyik, begitu ada yang tampaknya pedekata, biasanya aku jadi malu sendiri dan menghindar. Dan ini, orang asing yang belum ketahuan seperti apa rupanya bilang kalau dia suka padaku dari pandangan pertama dan mengajak berkenalan. Mimpi apa semalam?Rissa dengan gembira mengomporiku untuk memenuhi ajakannya. Tapi, aku menggeleng kuat-kuat. Aku takkan sanggup melakukannya. Rasa malu pasti akan membuatku tak mampu mengatakan apa-apa. Seperti yang selalu terjadi begitu ada cowok yang menunjukkan tanda-tanda suka.

Tapi, Rissa bersikeras. Katanya, "Kita intai saja dari sisi gerbang depan sebelah sana" - Dia menunjuk salah satu sisi yang agak tertutup dari pandangan. "Dengan begitu, kita bisa lihat orangnya, tapi dia nggak bisa lihat kita. Jam berapa katanya datang? Jam 3? Nah, kita standby dari jam 2.40. Gimana?"

Aku tak setuju. Bagaimana kalau ketahuan? Tengsin kan? Tapi karena penasaran, akhirnya kami pun berdiri di sisi yang terlindung rerimbunan pohon itu. Sekitar jam 3, terdengar sebuah motor mendekat. Aku hanya sempat melihat kakinya. Kaki? Yap, hanya kakinya yang putih bersih. Astagfirullah aladzim. Aku mengelus-elus dadaku sendiri. Aku sedang ngapain sih? Tanpa berani melihat wajahnya, aku menarik Rissa untuk memasuki gerbang dari sisi lain yang takkan kelihatan oleh orang yang baru datang.

Jujur, aku sama sekali tidak tahu apakah itu cowok bernama Herlan itu. Aku pun tak sempat berkenalan karena saking gugupnya aku memutuskan pamit lebih dulu meski Rissa protes dan membujukku untuk tinggal lebih lama dan melihat pengagum misterius itu. Dan begitulah. Dengan pengecut, aku menutup satu lembaran dalam hidupku begitu saja.

Sekarang sudah lewat 12 tahun. Dan tiba-tiba surat lama itu ada lagi dalam tanganku. Bukan hanya surat pertama, tapi juga surat kedua yang sama-sama diketik rapi pakai mesin tik.

Aku berpikir bagaimana seandainya aku memberanikan diri berkenalan. Bagaimana jika kami bertutur kata. Sama seperti ketika ada begitu banyak anak laki-laki silih berganti datang dan mengajak untuk berkenalan lebih jauh. Aku selalu mengatakan tidak dan tidak. Aku begitu pemalu hingga tak pernah memberikan kesempatan kepada siapapun. Alasan pertama tentu karena aku tahu dalam Islam tak ada istilah pacaran. Tapi, alasan kedua, aku selalu takut konsekuensi perkenalan yang lebih dekat.

Ah, entahlah.

Kulipat kembali surat-surat itu, lalu menaruhnya di sebuah kotak khusus.

Kepada semua yang kukecewakan dulu, mohon maaf yah. Kadang hati tak sanggup menghadapi tantangan. Kepada Herlan Saputra yang telah mengirimiku surat dulu, terima kasih banyak. Mudah-mudahan kita suatu saat bisa bersilaturahmi. Begitu pula dengan teman-teman lain yang tak pernah aku berikan kesempatan untuk menjadi sahabat dekat.

(Nadiah Abidin, 15 September 2008, 19.00 WIB)