Selasa, 16 September 2008

Siapakah Herlan? (Kenangan dari masa lalu)

Sore ini aku dan Ita sibuk membongkar-bongkar belasan kardus yang menumpuk di ruang perpustakaan. Isinya bermacam-macam. Mulai dari kalender, buku, pin sampai surat-surat. Ketika aku membuka sejumlah buku lama yang sudah mulai berdebu, tiba-tiba sebuah amplop melayang jatuh.

Aku memungutnya dan mengamati sampulnya. Sampul berwarna pink itu menunjukkan dua anak kecil yang duduk saling berhadapan. Ada tulisan "sunboy" dibalik amplop dan sebuah nama: Herlan S.

Tiba-tiba aku jadi teringat masa SMA dulu. Ketika itu, atas ajakan dari Bang Komar dan kakak-kakak angkatan 96, aku dan beberapa anak angkatan 98 ikut berpartisipasi dalam mensukseskan pesantren kilat yang bertempat di salah satu SD di BJI. Aku dan teman-teman bertindak sebagai tutor. Aku kebagian mengajarkan nasyid dan mendongeng kepada anak-anak. Mereka tampak senang sekali. Saking senangnya, waktu aku pindah ke kelas sebelah, beberapa anak nekad membuka pembatas kelas dan berteriak nyaring, "Kak Nadiah, kapan balik ke kelas kita? Jangan lama-lama yah! Ditunggu!"

Pengalaman itu sangat luar biasa. Rasanya benar-benar luar biasa mendapat perhatian dan penghargaan dari adik-adikku yang cantik dan ganteng. Sambil bertepuk tangan, aku melantunkan sejumlah nasyid dengan dibantu temanku, Rissa. Menjelang akhir sesi di hari ketiga, tiba-tiba salah seorang di antara peserta pesantren kilat mendekatiku. Lia namanya. Dari pandanganku, dia gadis tercantik di kelas yang aku ajar. Seraya menarik sekilas ujung kemejaku, dia mengangsurkan sebuah amplop berwarna pink. "Ada apa, Sayang? Kamu sakit?" Anak itu menggeleng dan berkata singkat, "Ini buat Kakak". Aku tersenyum padanya sambil mengucap terima kasih dan memintanya kembali berdiri dalam barisan teman-temannya yang masih mempelajari nasyid yang kuajarkan.

Dari warna sampulnya, aku mendadak merasa deg-degan. Tanganku sampai gemetar. Apa ya isinya? Bersama Rissa, kami membaca surat di dalamnya lamat-lamat. Bertanggal 20 Juni 1996, pengirim surat menyampaikan permohonan maaf karena telah lancang mengirim surat. Ia bercerita bagaimana ia mengantar Lia ke sekolah dan melihatku dari kejauhan. Dia bertanya kepada adiknya, siapa aku. Dan adiknya dengan bersemangat bercerita bahwa aku kakak paling ramah dan tercantik di sana. Karena itu, ia terkesan dan ingin berkenalan.

Surat yang kubaca nyaris jatuh dari genggaman. Rissa tertawa geli dan berkata, "Wah, Na. Ternyata ada penggemar nih yah. Senang dong". Aku berkata padanya aku tak tahu harus berpikir apa. Yang pasti menurutku surat itu bukan diperuntukkan padaku. "Lia pasti salah kasih orang. Mana mungkin surat ini buat gue, Cha".

Maka, karena aku sudah tak sanggup menulis, Rissa yang melakukannya. Kami menjawab surat itu dengan mengatakan bahwa adiknya sudah pasti salah memberikan surat kepadaku. Jadi, bukannya tak ingin menyambung silaturahmi, tapi sebaiknya ia menitipkan surat untuk orang yang tepat.

Aku memberikan balasan surat itu kepada Lia. Ia mengangguk dengan wajah polosnya yang manis.

Keesokan harinya, aku mendapatkan surat kedua. Meski aku mengatakan kepada Lia bahwa dia mungkin salah memberikan surat, ia bersikeras bahwa surat itu untukku.

Saat kubaca, kakaknya bernama Herlan ini menawarkan untuk bertemu di gerbang sekolah. Dan jika bisa, mengobrol di hari perpisahan.

Aku jelas langsung kalang kabut. Berurusan dengan cowok sedari dulu sudah menjadi masalah klise. Meskipun teman-teman cowok bilang aku asyik, begitu ada yang tampaknya pedekata, biasanya aku jadi malu sendiri dan menghindar. Dan ini, orang asing yang belum ketahuan seperti apa rupanya bilang kalau dia suka padaku dari pandangan pertama dan mengajak berkenalan. Mimpi apa semalam?Rissa dengan gembira mengomporiku untuk memenuhi ajakannya. Tapi, aku menggeleng kuat-kuat. Aku takkan sanggup melakukannya. Rasa malu pasti akan membuatku tak mampu mengatakan apa-apa. Seperti yang selalu terjadi begitu ada cowok yang menunjukkan tanda-tanda suka.

Tapi, Rissa bersikeras. Katanya, "Kita intai saja dari sisi gerbang depan sebelah sana" - Dia menunjuk salah satu sisi yang agak tertutup dari pandangan. "Dengan begitu, kita bisa lihat orangnya, tapi dia nggak bisa lihat kita. Jam berapa katanya datang? Jam 3? Nah, kita standby dari jam 2.40. Gimana?"

Aku tak setuju. Bagaimana kalau ketahuan? Tengsin kan? Tapi karena penasaran, akhirnya kami pun berdiri di sisi yang terlindung rerimbunan pohon itu. Sekitar jam 3, terdengar sebuah motor mendekat. Aku hanya sempat melihat kakinya. Kaki? Yap, hanya kakinya yang putih bersih. Astagfirullah aladzim. Aku mengelus-elus dadaku sendiri. Aku sedang ngapain sih? Tanpa berani melihat wajahnya, aku menarik Rissa untuk memasuki gerbang dari sisi lain yang takkan kelihatan oleh orang yang baru datang.

Jujur, aku sama sekali tidak tahu apakah itu cowok bernama Herlan itu. Aku pun tak sempat berkenalan karena saking gugupnya aku memutuskan pamit lebih dulu meski Rissa protes dan membujukku untuk tinggal lebih lama dan melihat pengagum misterius itu. Dan begitulah. Dengan pengecut, aku menutup satu lembaran dalam hidupku begitu saja.

Sekarang sudah lewat 12 tahun. Dan tiba-tiba surat lama itu ada lagi dalam tanganku. Bukan hanya surat pertama, tapi juga surat kedua yang sama-sama diketik rapi pakai mesin tik.

Aku berpikir bagaimana seandainya aku memberanikan diri berkenalan. Bagaimana jika kami bertutur kata. Sama seperti ketika ada begitu banyak anak laki-laki silih berganti datang dan mengajak untuk berkenalan lebih jauh. Aku selalu mengatakan tidak dan tidak. Aku begitu pemalu hingga tak pernah memberikan kesempatan kepada siapapun. Alasan pertama tentu karena aku tahu dalam Islam tak ada istilah pacaran. Tapi, alasan kedua, aku selalu takut konsekuensi perkenalan yang lebih dekat.

Ah, entahlah.

Kulipat kembali surat-surat itu, lalu menaruhnya di sebuah kotak khusus.

Kepada semua yang kukecewakan dulu, mohon maaf yah. Kadang hati tak sanggup menghadapi tantangan. Kepada Herlan Saputra yang telah mengirimiku surat dulu, terima kasih banyak. Mudah-mudahan kita suatu saat bisa bersilaturahmi. Begitu pula dengan teman-teman lain yang tak pernah aku berikan kesempatan untuk menjadi sahabat dekat.

(Nadiah Abidin, 15 September 2008, 19.00 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar